Tuesday, October 21, 2014

We were so close back then

Beberapa hari yang lalu, gue chat sama seorang teman. Bukan teman lama karena kenalnya juga gak sampai sepuluh tahun, bukan juga teman baru karena kita udah cukup lama saling kenal. Pembicaraan yang kita obrolin juga biasa-biasa aja, dari yang normal sampai ngalor ngidul. Tapi lebih banyak obrolan seputar kehidupan kita masing-masing pada saat ini. Berasa udah nggak bertemu bertahun-tahun sampe nggak tau apa yang terjadi sama dia. 

Pada saat itu gue berpikir, pada suatu titik di masa lalu, gue dan dia tuh deketbanget (sampai gak ada jarak yang misahin). Dulu, gue tau banget tentang dia dan kehidupan pribadinya dan mungkin dia juga ngerasa kayak gitu ke gue. We were close, so close back then. Tapi entah kenapa, gue sama dia tiba-tiba jadi ngejauh. Nggak tiba-tiba terjadinya. Gue merasa, dari hari ke hari, gue sama dia seperti ada jarak. Frekuensi kita untuk jalan bareng jadi semakin jarang banget. Yang biasanya kita selalu ngobrol tiap hari, berkurang jadi dua hari sekali, seminggu sekali, sebulan sekali sampai kita chat kalo emang ada perlu aja.

Gue tipikal orang yang cuek. Jadi saat itu gue nggak terlalu ngerasa aneh saat gue dan dia drifted apart dan selama ini  gue ngerasa fine-fine aja karena kita technically masih temenan, walaupun gak sedekat dulu. Tapi belum lama ini, muncul quote di social media yang di post oleh salah seorang temen dekat gue yang lain, tentang bagaimana seseorang yang dulu dekat sama kita, jadi kayak orang lain bagi kita. Then suddenly, I realized, that I've ever experienced that. Dan itu kenapa tiba-tiba gue jadi mikirin hal ini sekarang.

Ada beberapa teman lain yang ternyata juga pernah ngalamin situasi kayak gini and I can't help but thinking that everything will change, either is good or bad. Menurut gue,di antara awal hingga akhir, ada sebuah proses yang tidak akan berjalan statis. Akan ada saatnya kita akan menemui belokan, tanjakan, turunan atau jalan buntu. Begitu pula dengan hubungan kita dengan orang-orang terdekat. Mungkin dari pergolakan yang kita temuin, hubungan kita sama mereka bisa semakin kuat atau malah melemahkan. Bisa juga, setelah adanya pergolakan, kita sama mereka nemuin jalan buntu dan akhirnya berakhir dengan begitu saja. And things will never be the same again.

Things change, people change. Penyebabnya bukan mutlak dari dalam diri kita tapi juga dari keadaan di sekitar yang berubah. Beda kelas, beda tempat kuliah, beda tongkrongan, punya teman baru yang bikin nyaman, udah pada kerja atau ada yang udah nikah dan punya anak. Hal-hal tersebut, secara perlahan dapat menjadi jarak. Kita nggak bisa mengharapkan mereka untuk tetap menjadi mereka yang dulu pada saat kita pertama kali kenal. Still become friend, but not so close as before.

So, enjoy present time. Buat sekarang gue sangat sangat menikmati lingkaran pertemanan yang gue miliki karena kita nggak tau ke depannya kayak gimana. I do really love and treasure each person who is really close to me and I still wanna create a beautiful journey with them, as long as I can. So whatever happen next, I can still look back and say I have wonderful memories with awesome people.









Monday, October 20, 2014

RESENSI THE GIVER

sumber cover: childrenbooks.about.com


Judul Novel     : The Giver

Penulis             : Lois Lowry

Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit   : 2014

Tebal                : 230 Halaman








Bagaimanakah rasanya  menjalani kehidupan di dunia yang menuntut keteraturan di setiap aspek kehidupan? Dunia tanpa gejolak rasa. Dunia yang membatasi kebebasan memilih dan menikmati keindahan. Dunia yang monoton....



Jonas, anak lelaki yang akan menjadi Dua Belas mulai dilanda rasa takut di dalam dunianya yang sempurna. Rasa takut tersebut muncul seiring semakin dekatnya upacara penugasan yang menjadi penentu bagi peran Jonas di Komunitas. Dirinya terpilih untuk menjadi Sang Penerima. Penerima segala macam ingatan akan rasa sakit, takut, serta kebahagiaan yang tidak pernah Jonas alami sebelumya. Untuk itu, Jonas perlu melakukan latihan Sang Pemberi yang memberikan seluruh ingatannya kepada Jonas. Namun siapa sangka, ingatan tersebut dapat membuka sebuah kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh Tetua Komunitas. 


Semakin banyak ingatan yang diterima Jonas, semakin besar rasa ketidakpercayaan Jonas terhadap dunianya yang sempurna. Rasa penasaran yang semakin besar mulai timbul di benak Jonas bagaikan deburan ombak yang bertubi-tubi. Untuk itu, ia mulai mencari asal dari segala ingatan yang diterima dari Sang Pemberi. Mencoba mengungkap kebenaran yang diselimuti oleh kebohongan. Menelusuri jejak asal mula dari semua rasa dan asa yang ada dan meninggalkan dunianya yang nyaman untuk pergi ke Tempat Lain....

The Giver menceritakan mengenai seorang anak yang hidup dalam zona nyaman dan aman serta dibatasi oleh berbagai macam aturan. Bagaimana orang dewasa berperan dalam menentukan pilihan hidup sang anak. Serta keberanian yang dimiliki sang anak untuk dapat bertualang ke tempat baru. Tempat yang ia yakini dapat memberikan semua jawaban atas rasa penasaran yang dimiliki.

Novel ini secara tidak langsung menceritakan pengalaman hidup yang dialami oleh sang penulis. Kita diajak untuk menyelami kehidupan sang penulis melalui untaian kalimat yang tertuang dengan indah. Secara keseluruhan novel ini memiliki penggambaran yang cukup jelas mengenai kehidupan sempurna yang diinginkan semua orang. Membawa pesan yang dapat menjadi refleksi diri apakah kita sudah cukup berani untuk melangkah lebih jauh, meninggalkan rasa nyaman dan aman. Mendorong kita untuk berani mengambil keputusan yang kita yakini itu adalah sebuah kebenaran. Serta menyadarkan kita akan abadinya sebuah memori.

Kelebihan yang juga dapat menjadi kekurangan dari novel ini adalah akhir yang menggantung. Di satu sisi, kita dapat dengan bebas menentukan akhir cerita sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Namun di satu sisi, kita dilanda rasa penasaran yang hebat mengenai akhir petualangan Jonas dalam menemukan kebenaran yang ia yakini.